|





​Viral! Gerakan ‘Ayah Ambil Rapor’ Picu Perang Komentar di Media Sosial: Antara Harapan dan Realita

Editor: Admin


METROINDO.ID | ​MEDAN – Jagat media sosial tengah diramaikan oleh Gerakan Ayah Mengambil Rapor (GEMAR). Tren yang awalnya bertujuan untuk mendorong keterlibatan figur ayah dalam pendidikan anak ini justru memicu gelombang perdebatan sengit, khususnya di kalangan para emak-emak.

Peraturan untuk ayah mengambil rapor bersama anak (Gerakan Ayah Mengambil Rapor - GEMAR) dibuat oleh BKKBN (Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional), melalui Surat Edaran Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/Kepala BKKBN No. 14 Tahun 2025, yang mendorong keterlibatan ayah dan memberikan dispensasi kerja bagi ayah yang berpartisipasi, sebagai upaya penguatan peran ayah dalam pendidikan anak. 

​Pantauan di berbagai platform seperti Facebook dan Instagram menunjukkan ribuan unggahan yang memperlihatkan deretan para emak-emak komplin karena ayah untuk menerima laporan hasil belajar anak mereka. Namun, di balik unggahan dan komentar tersebut, tersimpan "curhatan" hingga amarah dari para ibu yang merasa tren ini tidak inklusif bagi semua kondisi keluarga.

Pro dan Kontra: Dari Haru Hingga Keluhan

​Gerakan ini awalnya dipuji sebagai langkah positif untuk mendobrak stigma bahwa urusan sekolah adalah "tugas ibu semata". Namun, kolom komentar segera berubah menjadi medan tempur opini.

Kelompok Ibu yang Komplain: Banyak ibu-ibu yang merasa keberatan karena menganggap tren ini memberikan tekanan sosial baru. Mereka menyoroti kondisi suami yang bekerja di sektor informal atau perusahaan dengan aturan disiplin tinggi yang tidak memungkinkan untuk izin.

Kisah Para Pejuang LDR: Isu paling sensitif datang dari para ibu yang suaminya sedang merantau atau bekerja di luar kota/luar negeri. Bagi mereka, kehadiran ayah adalah kemewahan yang tidak bisa didapatkan hanya demi sebuah konten atau tren rapor.

​Sentimen "Mom-Shaming": Sebagian ibu merasa tersinggung karena ada narasi yang seolah-olah menyudutkan peran ibu jika ayah tidak hadir.

"Kenapa harus wajib ayah?, Yang penting rapor diambil dan orang tua tahu perkembangan anak," tulis salah satu netizen yang viral.

​"Suami saya kerjanya di proyek, berangkat subuh pulang malam. Kalau izin ambil rapor taruhannya potong gaji atau bahkan SP. Melihat tren ini bukannya senang, malah jadi merasa bersalah ke anak karena ayahnya nggak bisa hadir seperti ayah teman-temannya, kalau dibuat cuti Nasional gak masalah" ungkap salah satu pengguna Facebook dalam utasnya yang disukai ribuan orang.


Analisis Singkat: Mengapa Menjadi Sensitif?

​Para ahli sosiologi menilai bahwa ketegangan ini muncul karena adanya benturan antara idealisme pola asuh modern dengan realita ekonomi masyarakat.

Di satu sisi, kehadiran ayah secara psikologis memang baik bagi anak. Namun di sisi lain, struktur lapangan kerja di Indonesia belum sepenuhnya mendukung fleksibilitas bagi para ayah untuk terlibat dalam urusan domestik. (MI/Heri.P)

Share:
Komentar

Berita Terkini

 
/> -->